Sejarah Panjang Bandara Kertajati Yang Masih Sepi
6:00:00 PM
Tambah Komentar
Jakarta - Manajemen Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) merespons pernyataan Wapres Jusuf Kalla yang menyebut pembangunan bandara tanpa kajian dasar. Bandara yang terletak di Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka itu dikala ini masih sepi.
Berdasarkan keterangan tertulis BIJB ibarat dikutip detikFinance, Senin (15/4/2019) bandara yang bersahabat disebut Bandara Kertajati ini punya sejarah panjang. Ide pembangunan bandara ini muncul tahun 2003 dan digagas warga Jawa Barat (Jabar) khususnya dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jabar. Saat itu, terjadi peralihan jabatan gubernur dari R Nuriana ke Danny Setiawan.
Latar belakang gagasan itu alasannya ialah jumlah penduduk Jawa Barat yang sudah menyentuh 37 juta diawal 2000-an. Sementara, Bandara Husein Sastranegara Bandung dinilai sudah sangat padat melayani transportasi udara. Lalu, Bandara Soekarno-Hatta yang semula masuk manajemen Jawa Barat beralih alasannya ialah masuk dalam wilayah pemekaran Provinsi Banten.
Usulan tersebut kemudian ditindaklanjuti Pemprov Jabar dengan menciptakan studi kelayakan pembangunan pada Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Perhubungan.
"Angin segar didapat. Pada kesudahannya 2005 ditetapkan lokasi di Kecamatan Kertajati Majalengka lewat surat Keputusan Menteri Perhubungan bernomor 5 tahun 2005," tulis keterangan tersebut.
Bukan tanpa alasan Kertajati sebagai lokasi pembangunan bandara. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Jawa Barat akan mempolarisasikan tiga daerah metropolitan. Secara demografis, Majalengka dinilai merupakan titik temu perlintasan dari aneka macam daerah sentra ekonomi ibarat Bandung, Karawang dan Jakarta.
Berjarak sekitar 80 kilometer dari Bandung atau 180 kilometer dari Jakarta dianggap masuk dalam rencana strategis pemerintah menyebarkan potensi ekonomi di tiga daerah Jawa Barat.
Tiga daerah itu, pertama, Cirebon Raya mencakup Cirebon Raya, Majalengka, Kuningan, dan Indramayu atau kita kenal Ciayumajakuning. Kedua, daerah Bandung Raya dalam lingkup Kota dan Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan Kabupaten Sumedang. Ketiga, daerah Bodebekkapur yakni Kota dan Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Purwakarta.
Sementara, pembangunan selama ini dititik beratkan di dua kawasan, yakni kedua dan ketiga.
"Sehingga pembangunan daerah pertama dinilai sanggup menjadi harus demi sebuah pemerataan pembangunan yang ujung-ujungnya untuk mengatasi ketimpangan sosial," suara keterangan BIJB.
Bandara ini nantinya akan terhubung dengan Pelabuhan Patimban dan Pelabuhan Muarajai Cirebon. Kemudian, akan terhubung juga dengan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu).
"Kajian tersebut kemudian membawa pada sebuah Keputusan Menteri Nomor 34 tahun 2007 perihal penetapan Master Plan BIJB. BIJB dianggap masuk dalam rencana strategis pembangunan ke depannya oleh pemerintah pusat," terperinci BIJB lebih lanjut.
Keputusan menteri itu kemudian dijadikan bekal bagi Pemprov Jabar untuk memulai pembebasan lahan pada 2009 kemudian dengan kebutuhan lahan 1.800 hektar (ha). Kemudian, di tambah aerocity sebagai daerah yang menunjang operasional bandara seluas 3.480 ha.
Pembebasan lahan di masa kepemimpinan Gubernur Ahmad Heryawan dilakukan secara bertahap. Dari 1.800 ha yang diperlukan hingga dikala ini 1.040 ha lahan sudah dibebaskan Pemprov Jabar.
Pemerintah Pusat yakni Kementerian Perhubungan eksklusif ambil bab lahan untuk memulai pembangunan sisi udara dengan menciptakan runway atau landasan pacu pada 2013 lalu.
Sisi udara bukan cuma mencakup runway alasannya ialah ada komponen lain ibarat taxi way, apron dan lain-lain. Tidak hanya itu, di sisi udara juga ada Air Traffic Control (ATC) yang dibangun AirNav Indonesia. Nilai investasi untuk kebutuhan sisi udara ini menelan Rp 1,01 triliun.
Selain itu, yang menelan anggaran besar ialah terminal di mana kebutuhannya mencapai Rp 2,6 triliun. Selain konstruksi, anggaran itu untuk modal kerja dan kesiapan operasional.
Pemerintah Provinsi Jabar serius ingin mempunyai bandara gres dengan menerbitkan perda (Perda) Nomor 22 Tahun 2013 yang ditandatangani Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Perda itu menelurkan PT BIJB sebuah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Jawa Barat.
"PT BIJB bertanggung jawab melaksanakan pembangunan sisi darat, pengoperasian, serta pengembangan bandara dan juga menyebarkan daerah aerocity yang terintegrasi dengan bandara untuk menyebarkan perekonomian di sekitarnya," paparnya.
Lebih lanjut, Pemprov Jabar dan PT Jasa Sarana dikala itu eksklusif berinvestasi senilai Rp 808 miliar. PT Jasa Sarana mempunyai porsi Rp 12,5 miliar, sisanya Pemprov Jabar yang disebut sebagai pemegang saham mayoritas.
Sedangkan untuk memenuhi kekurangan PT BIJB berhasil menghimpun dana lewat bagan pembiayaan berbasis sumbangan atau loan. Skema inilah PT BIJB sanggup menghimpun sumbangan dari tujuh perbankan syariah senilai Rp 906 miliar. Bank tersebut yakni Bank Jateng Syariah selaku lead sindikasi, Bank Sumut Syariah, Bank Jambi Syariah, Bank Jabar Syariah, Bank Kalsel Syariah, Bank Kalbar Syariah dan Bank Sulselbar Syariah.
Skema lain, yakni pembiayaan berbasis ekuitas. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah memperlihatkan pernyataan efektif untuk memenuhi kekurangan pembiayaan bandara ini lewat penerbitan reksa dan penyertaan terbatas (RDPT) dengan maksimal Rp 1 triliun.
BIJB menerbitkan RDPT dengan menggandeng PT Sarana Multi Infrastrukur (PT SMI) sebagai financial advisor serta PT Danareksa Investment Management sebagai investment manager. Pemegang RDPT otomatis jadi pemegang saham BIJB.
Lebih lanjut, Bandara Kertajati disebut-sebut akan menjadi bandara terbesar kedua sehabis Bandara Soekarno-Hatta. Tantangan bandara yang dibangun oleh PT BIJB dan Angkasa Pura II selaku operator ialah untuk membangkitkan Bandara Kertajati. Sumber detik.com
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Panjang Bandara Kertajati Yang Masih Sepi"
Posting Komentar